Aksara Bali
Aksara Bali adalah
aksara tradisional masyarakat Bali dan berkembang di
Bali. Aksara Bali merupakan suatu
abugida yang berpangkal pada
huruf Pallawa. Aksara ini mirip dengan
aksara Jawa. Perbedaannya terletak pada lekukan bentuk huruf.
Aksara Bali berjumlah 47 karakter, 14 di antaranya merupakan huruf vokal (
aksara suara). Huruf konsonan (
aksara wianjana) berjumlah 33 karakter.
Aksara wianjana Bali yang biasa digunakan berjumlah 18 karakter. Juga terdapat
aksara wianjana Kawi yang digunakan pada kata-kata tertentu, terutama kata-kata yang dipengaruhi
bahasa Kawi dan
Sanskerta.
Meski ada
aksara wianjana Kawi yang berisi intonasi nada tertentu, pengucapannya sering disetarakan dengan
aksara wianjana Bali. Misalnya,
aksara dirgha (pengucapan panjang) yang seharusnya dibaca panjang, seringkali dibaca seperti
aksara hresua (pengucapan pendek).
Warga aksara
Dalam aksara Bali, terdapat suatu sistem pengelompokkan huruf menurut dasar pengucapannya yang disebut
warga aksara. Dalam bahasa Bali,
warga berarti "jenis"/"kelompok" dan
aksara berarti "
huruf"/"lambang penulisan", bukan sistem tulisan. Dalam aturan menulis aksara Bali, ada 5
warga aksara yang utama, yaitu:
[1]
- Kanthya. Warga kanthya adalah kelompok fonem yang berasal dari langit-langit dekat kerongkongan. Beberapa di antaranya termasuk konsonan celah suara. Yang termasuk warga kanthya adalah konsonan langit-langit belakang/guttural dan celah suara (glotal). Huruf konsonan yang termasuk warga kanthya terdiri dari: Ka (k), Ga (g), Ga gora (gh), Nga (ng). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga kanthya adalah A.
- Talawya. Warga talawya adalah kelompok fonem yang berasal dari langit-langit mulut. Yang termasuk warga talawya adalah konsonan langit-langit/palatal. Huruf konsonan yang termasuk warga talawya terdiri dari: Ca (c), Ca laca (ch), Ja (j), Ja jera (jh), Nya (ny), Sa saga (sy). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga talawya adalah I.
- Osthya. Warga osthya adalah kelompok fonem yang berasal dari pertemuan bibir atas dan bawah. Yang termasuk warga oshtya adalah konsonan dwibibir/labial. Huruf konsonan yang termasuk warga talawya terdiri dari: Pa (p), Pa kapal (ph), Ba (b), Ba kembang (bh), Ma (m), Wa (w). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga talawya adalah U.
Aksara suara (vokal)
Aksara suara disebut pula huruf
vokal/huruf hidup dalam aksara Bali. Fungsi
aksara suara sama seperti fungsi huruf vokal dalam
huruf Latin. Jika suatu
aksara wianjana (konsonan) diberi salah satu
pangangge (tanda
diakritik)
aksara suara, maka cara baca
aksara wianjana tersebut juga berubah, sesuai dengan fungsi
pangangge yang melekati
aksara wianjana tersebut. Berikut ini adalah
aksara suara dalam aksara Bali:
Warga aksara |
Aksara suara hresua
(huruf vokal pendek) |
Nama |
Aksara suara dirgha
(huruf vokal panjang) |
Aksara Bali |
Huruf Latin |
Alfabet Fonetis Internasional |
Aksara Bali |
Huruf Latin |
Alfabet Fonetis Internasional |
Kantya
(tenggorokan) |
|
A |
[a] |
A kara |
|
Ā |
[ɑː] |
Talawya
(langit-langit lembut) |
|
I |
[i] |
I kara |
|
Ī |
[iː] |
Murdhanya
(langit-langit keras) |
|
Ṛ |
[ɹ̩] |
Ra repa |
|
Ṝ |
[ɹ̩ː] |
Dantya
(gigi) |
|
Ḷ |
[l̩] |
La lenga |
|
Ḹ |
[l̩ː] |
Osthya
(bibir) |
|
U |
[u] |
U kara |
|
Ū |
[uː] |
Kanthya-talawya
(tenggorokan & langit-langit lembut) |
|
E |
[e]; [ɛ] |
E kara (E)
Airsanya (Ai) |
|
E; Ai |
[e]; [aːi] |
Kanthya-osthya
(tenggorokan & bibir) |
|
O |
[o]; [ɔ] |
O kara |
|
O; Au |
[o]; [aːu] |
Aksara wianjana (konsonan)
Aksara wianjana disebut pula
konsonan
atau huruf mati dalam aksara Bali. Meskipun penulisannya tanpa huruf
vokal, setiap aksara dibaca seolah-olah dibubuhi huruf vokal /a/ atau
/ə/
[3] karena merupakan suatu
abugida.
Aksara ardhasuara adalah
semivokal. Kata
ardhasuara (dari
bahasa Sanskerta) secara
harfiah berarti "setengah suara" atau semivokal. Dengan kata lain,
aksara ardhasuara tidak sepenuhnya huruf konsonan, tidak pula huruf vokal. Yang termasuk kelompok
aksara ardhasuara adalah Ya, Ra, La, Wa.
Gantungan-nya termasuk
pangangge aksara (kecuali
gantungan La), yaitu
nania (
gantungan Ya);
suku kembung (
gantungan Wa); dan
guwung atau
cakra (gantungan
Ra).
Pangangge
Pangangge (lafal:
/pəŋaŋge/) atau dalam
bahasa Jawa disebut
sandhangan, adalah lambang yang tidak dapat berdiri sendiri, ditulis dengan melekati suatu
aksara wianjana maupun
aksara suara dan memengaruhi cara membaca dan menulis aksara Bali. Ada berbagai jenis
pangangge, antara lain
pangangge suara,
pangangge tengenan (lafal:
/t̪əŋənan/), dan
pangangge aksara.
Pangangge suara
Bila suatu
aksara wianjana (
konsonan) dibubuhi
pangangge aksara suara (vokal), maka cara baca aksara tersebut akan berubah. Contoh: huruf
Na dibubuhi
ulu dibaca Ni;
Ka dibubuhi
suku dibaca Ku;
Ca dibubuhi
taling dibaca Cé. Untuk huruf
Ha ada pengecualian. Kadangkala bunyi /h/ diucapkan, kadangkala tidak. Hal itu tergantung pada kata dan kalimat yang ditulis.
Warga aksara |
Aksara Bali |
Huruf Latin |
Alfabet Fonetis Internasional |
Letak penulisan |
Nama |
Kanthya
(tenggorokan) |
Suara hresua
(vokal pendek) |
|
e; ě |
[ə] |
di atas huruf |
pepet |
Suara dirgha
(vokal panjang) |
|
ā |
[aː] |
di belakang huruf |
tedung |
Talawya
(langit-langit lembut) |
Suara hresua
(vokal pendek) |
|
i |
[i] |
di atas huruf |
ulu |
Suara dirgha
(vokal panjang) |
|
ī |
[iː] |
di atas huruf |
ulu sari |
Murdhanya
(langit-langit keras) |
Suara hresua
(vokal pendek) |
|
re; ṛ |
[rə] |
di bawah huruf |
guwung macelek |
Suara dirgha
(vokal panjang) |
|
ṝ |
[rəː] |
kombinasi di belakang dan bawah huruf |
guwung macelek matedung |
Dantya
(gigi) |
Suara hresua
(vokal pendek) |
|
le; ḷ |
[lə] |
kombinasi di atas dan bawah huruf |
gantungan La mapepet |
Suara dirgha
(vokal panjang) |
|
ḹ |
[ləː] |
kombinasi di atas, bawah, dan belakang huruf |
gantungan La mapepet lan matedung |
Osthya
(bibir) |
Suara hresua
(vokal pendek) |
|
u |
[u] |
di bawah huruf |
suku |
Suara dirgha
(vokal panjang) |
|
ū |
[uː] |
di bawah huruf |
suku ilut |
Kanthya-talawya
(tenggorokan & langit-langit lembut) |
Suara hresua
(vokal pendek) |
|
e; é |
[e]; [ɛ] |
di depan huruf |
taling |
Suara dirgha
(vokal panjang) |
|
e; ai |
[e]; [aːi] |
di depan huruf |
taling detya |
Kanthya-osthya
(tenggorokan & bibir) |
Suara hresua
(vokal pendek) |
|
o |
[o]; [ɔ] |
mengapit huruf |
taling tedung |
Suara dirgha
(vokal panjang) |
|
o; au |
[o]; [aːu] |
mengapit huruf |
taling detya matedung |
Pangangge tengenan
Pangangge tengenan (kecuali
adeg-adeg) merupakan
aksara wianjana yang bunyi vokal /a/-nya tidak ada.
Pangangge tengenan terdiri dari:
bisah,
cecek,
surang, dan
adeg-adeg. Jika dibandingkan dengan aksara
Dewanagari, tanda bisah berfungsi sama seperti tanda
wisarga; tanda cecek berfungsi seperti tanda anusuara; tanda adeg-adeg berfungsi seperti tanda wirama.
Pangangge aksara
Pangangge aksara letaknya di bawah
aksara wianjana.
Pangangge aksara (kecuali
La) merupakan
gantungan aksara ardhasuara.
Pangangge aksara terdiri dari:
Gantungan
Karena
adeg-adeg tidak boleh dipasang di tengah dan kalimat, maka agar
aksara wianjana bisa "mati" (tanpa vokal) di tengah kalimat dipakailah
gantungan.
Gantungan membuat
aksara wianjana
yang dilekatinya tidak bisa lagi diucapkan dengan huruf "a", misalnya
aksara Na dibaca /n/; huruf Ka dibaca /k/, dan sebagainya. Dengan
demikian, tidak ada vokal /a/ pada
aksara wianjana seperti semestinya. Setiap aksara wianjana memiliki
gantungan tersendiri. Untuk "mematikan" suatu
aksara dengan menggunakan gantungan,
aksara yang hendak dimatikan harus dilekatkan dengan
gantungan.
Misalnya jika menulis kata "Nda", huruf Na harus dimatikan. Maka, huruf
Na dilekatkan dengan gantungan Da. Karena huruf Na dilekati oleh
gantungan Da, maka Na diucapkan /n/.
Gantungan dan
pangangge diperbolehkan melekat pada satu
huruf yang sama, namun bila dua gantungan melekat di bawah huruf yang
sama, tidak diperbolehkan. Kondisi dimana ada dua gantungan yang melekat
di bawah suatu huruf yang sama disebut
tumpuk telu (tiga tumpukan). Untuk menghindari hal tersebut maka penggunaan
adeg-adeg di tengah kata diperbolehkan.
[7]
Pasang pageh
Dalam
lontar,
kakawin dan kitab-kitab dari zaman Jawa-Bali Kuno banyak ditemukan berbagai
aksara wianjana khusus, beserta gantungannya yang istimewa. Penulisan
aksara seperti itu disebut
pasang pageh, karena cara penulisannya memang demikian, tidak dapat diubah lagi.
[8] Aksara-aksara tersebut juga memiliki nama, misalnya
Na rambat,
Ta latik,
Ga gora,
Ba kembang, dan sebagainya. Hal itu disebabkan karena setiap
aksara
harus diucapkan dengan intonasi yang benar, sesuai dengan nama aksara
tersebut. Namun kini ucapan-ucapan untuk setiap aksara tidak seperti
dulu.
[9] Aksara mahaprana (hembusan besar) diucapkan sama seperti
aksara alpaprana (hembusan kecil).
Aksara dirgha (suara panjang) diucapkan sama seperti
aksara hrasua (suara pendek).
Aksara usma (desis) diucapkan biasa saja. Meskipun cara pengucapan sudah tidak dihiraukan lagi dalam membaca, namun dalam penulisan,
pasang pageh harus tetap diperhatikan.
Pasang pageh berguna untuk membedakan suatu homonim. Misalnya:
Aksara Bali |
Aksara Latin
(IAST) |
Arti |
|
asta |
adalah |
|
astha |
tulang |
|
aṣṭa |
delapan |
|
pada |
tanah, bumi |
|
pāda |
kaki |
|
padha |
sama-sama |
Aksara maduita
Aksara maduita khusus digunakan pada bahasa serapan. Umumnya
orang Bali menyerap kata-kata dari
bahasa Sanskerta dan
Kawi untuk menambah kosakata. Contoh penggunaan aksara maduita:
Aksara Bali |
Aksara Latin
(IAST) |
Arti |
|
Buddha |
Yang telah sadar |
|
Yuddha |
perang |
|
Bhinna |
beda |
Dengan melihat contoh di atas, ternyata ada huruf konsonan yang
ditulis dua kali. Hal tersebut merupakan ciri-ciri aksara maduita.
Angka
Aksara Bali |
Aksara Latin |
Nama (dalam bhs. Bali) |
|
Aksara Bali |
Aksara Latin |
Nama (dalam bhs. Bali) |
|
0 |
Bindu/Windu |
|
5 |
Lima |
|
1 |
Siki/Besik |
|
6 |
Nem |
|
2 |
Kalih/Dua |
|
7 |
Pitu |
|
3 |
Tiga/Telu |
|
8 |
Kutus |
|
4 |
Papat |
|
9 |
Sanga/Sia |
Menulis angka dengan menggunakan angka Bali sangat sederhana, sama seperti sistem dalam
aksara Jawa dan
Arab.
Bila hendak menulis angka 10, cukup dengan menulis angka 1 dan 0
menurut angka Bali. Demikian pula jika menulis angka 25, cukup menulis
angka 2 dan 5. Bila angka ditulis di tengah kalimat, untuk membedakan
angka dengan huruf maka diwajibkan untuk menggunakan tanda
carik, di awal dan di akhir angka yang ditulis.
Di bawah ini contoh penulisan tanggal dengan menggunakan angka Bali (tanggal: 1 Juli 1982; lokasi: Bali):
Aksara Bali |
Transliterasi dengan Huruf Latin |
|
Bali, 1 Juli 1982. |
Pada contoh penulisan di atas, angka diapit oleh tanda
carik untuk membedakannya dengan huruf.
Tanda baca dan aksara khusus
Ada beberapa aksara khusus dalam aksara Bali. Beberapa di antaranya
merupakan tanda baca, dan yang lainnya merupakan simbol istimewa karena
dianggap keramat. Beberapa di antaranya diuraikan sebagai berikut:
Simbol |
Nama |
Keterangan |
|
Carik atau Carik Siki. |
Ditulis pada akhir kata di tengah kalimat. Fungsinya sama dengan koma dalam huruf Latin. Dipakai juga untuk mengapit aksara anceng. |
|
Carik Kalih atau Carik Pareren. |
Ditulis pada akhir kalimat. Fungsinya sama dengan titik dalam huruf Latin. |
|
Carik pamungkah. |
Dipakai pada akhir kata. Fungsinya sama dengan tanda titik dua pada huruf Latin. |
|
Pasalinan. |
Dipakai pada akhir penulisan karangan, surat dan sebagainya. Pada geguritan bermakna sebagai tanda pergantian tembang. |
|
Panten atau Panti. |
Dipakai pada permulaan suatu karangan, surat dan sebagainya. |
|
Pamada. |
Dipakai pada awal penulisan. Tujuannya sama dengan pengucapan awighnamastu, yaitu berharap supaya apa yang dikerjakan dapat berhasil tanpa rintangan. |
|
Ongkara. |
Simbol suci umat Hindu. Simbol ini dibaca "Ong" atau "Om". |